Sepintas Motif Batik Tulis Sampang

Di desa itu ada 25 perajin yang menggantungkan hidupnya tekstil batik tulis. Tapi terpaan krisis ekonomi sejak 1998 silam membuat usaha rumahan itu masih terasa imbasnya. Kini hanya separonya saja yang masih aktif.

Lambat laun usaha yang mereka geluti kian meredup karena tidak adanya dukungan modal yang cukup kuat sehingga tidak mampu melayani permintaan sejumlah konsumen dalam jumlah besar. Untuk menutupi kebutuhan hidup sebagian besar perajin beralih kerja menjadi buruh tani di sawah-sawah tadah hujan di gunung kapur yang tandus.

Tapi di sela kelesuan itu masih ada perajin yang tetap bertahan mengembangkan pasar batik ini meskipun dengan sangat susah payah. Doviri, salah seorang perajin batik yang tetap bertahan itu menuturkan usaha ini tetap dia tekuni karena kecintaannya terhadap seni batik tulis serta meneruskan usaha yang telah dirintis keluarganya.

”Meski hanya bermodal pas-pasan, tapi saya mencoba bertahan agar batik tulis Desa Kotah ini tetap hidup. Karena saya sudah telanjur mencintai seni budaya warisan leluhur keluarga itu. Jika bukan saya lalu siapa lagi yang mau melanjutkan kerajinan yang dikembangkan turun temurun itu,” tutur Doviri yang telah menekuni seni batik tulis sejak 1984 silam.

Berbagai upaya telah dia lakukan, mulai dari mencoba meminta kredit kepada bank, tapi modal yang dikucurkan tidak mencukupi untuk mengembangkan usahanya. Bantuan dari pemerintah setempat ternyata juga kurang begitu merespon karena dia hanya mendapat bantuan peralatan batik dari Dinas Koperasi dan Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperindag) Sampang.

”Padahal dari segi motif maupun kualitas, produksi batik Kotah tidak kalah dengan batik Telaga Biru Kec. Tanjungbumi, Bangkalan, dan Pamekasan,” ujar dia. Bahkan, sambungnya, para perajin Telaga Biru sering memesan kepadanya karena kualitas batik Kotah jauh lebih halus. ”Tetapi pesanan yang saya kirimkan sangat terbatas karena tidak punya modal apabila permintaannya cukup banyak,” kata Doviri yang juga coordinator pembatik di kampung itu.

Batik Kotah motif dan warna hampir sama dengan batik Madura umumnya. Motif kembang dan burung paling dominan dengan warna merah dan hijau. Batik itu digambar di atas kain katun yang dibeli dari Surabaya.

Harga kain batik Kotah mulai dari Rp 150 ribu hingga Rp 1 juta per lembar tergantung dari kualitas katun. Hingga kini pembatik Madura belum berani bereksperimen seperti pembatik Pekalongan dengan membuat pakaian modis lengan pendek yang santai dan digemari masyarakat. Mereka masih menjual dalam bentuk bahan kain yang dipotong untuk kemeja, blus, atau sarung.

Doviri dan rekan-rekannya sempat bangkit semangatnya saat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sampang mengundang Ramli, perancang busana terkemuka untuk memperkenalkan batik tulis Sampang ke luar daerah dan luar negeri.

Pada 18 Mei, Ramli bakal peragaan busana ke San Fransisco, Los Angeles, dan Chicago dengan busana motif batik Sampang dan Madura lainnya. Tapi dia dan para perajin batik yang lain kecewa karena tidak bisa merasakan dampaknya. Pasalnya, menurut Doviri, Ramli hanya pernah memesan empat potong kain sesuai dengan motif yang diinginkan.

Lalu muncul sebuah pertanyaan, dari mana Pemkab Sampang mengklaim Ramli bakal memamerkan batik Sampang ke AS padahal di kampung batik itu kondisi para perajin ibarat tinggal menunggu ajal.

Dia hanya menduga dibawanya empat potong batik Sampang itu sekadar dijadikan alasan saja agar bupati, istrinya, dan pejabat lainnya boleh ikut pelesir ke AS. ”Kenyataannya Ramli banyak membawa batik dari daerah lain,” tambah Doviri prihatin.

Menurut Doviri, justru yang diuntungkan para pengusaha yang memiliki modal besar, sementara para perajin jangankan untuk memasarkan dengan mengunakan merk dagang sesuai asal daerahnya untuk mendapatkan modal usaha saja harus berjuang mati-matian supaya tidak gulung tikar.

”Sebenarnya modal yang saya butuhkan tidak banyak, hanya Rp 50 juta saja sudah mampu mengembangkan usaha. Karena jalur pemasarannya dapat dilempar ke Surabaya yang banyak peminatnya, namun sayangnya pemerintah kurang peduli terhadap nasib kami,” keluhnya.


Sumber: Surabaya Post, Rabu, 13 Mei 2009
Sumber foto: Bintang Batik





Posting Pilihan